Magelang (ANTARA News) - Pemerhati budaya dari Universitas Akita Jepang, Yoshimi Miyake mengatakan masyarakat di negerinya perlu belajar lebih tekun lagi menghadapi kemungkinan gempa bumi dan tsunami, setelah bencana alam itu terjadi belum lama ini. "Jepang harus belajar lagi kalau ada gempa," katanya saat refleksi budaya bertajuk `Roh Antara Merapi Dan Jepang`, di Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, lereng barat Gunung Merapi di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di Magelang, Minggu malam.

Ia mengatakan masyarakat Jepang memiliki tradisi budaya yang kuat berupa kehidupan gotong royong dan semangat solidaritas tinggi untuk membantu orang yang sedang menderita.

Menurut dia, selama ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah dialami masyarakat negeri itu.

Tetapi, kata dia, saat gempa dan tsunami menerjang Jepang, Jumat (11/8), yang antara lain mengakibatkan aliran listrik mati dan jaringan internet terganggu, semua aktivitas kehidupan masyarakat berhenti.

Saat menghadapi gempa dan tsunami itu, kata dia masyarakat Jepang terlihat masih memiliki kelemahan. "Semua menjadi berhenti," katanya.

Ia mengatakan bencana alam di Jepang itu harus menjadi pelajaran penting untuk masyarakat guna menghadapi kemungkinan bencana serupa pada masa mendatang.

Pada kesempatan tersebut, Yoshimi menyebutkan warga sekitar Gunung Merapi di perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta juga belum lama ini menghadapi fase letusan gunung berapi itu, dan hingga saat ini masih berhadapan dengan ancaman banjir lahar.

"Bencana Merapi juga dahsyat, sedangkan masyarakat sekitar Merapi yang umumnya petani bergotong-royong menghadapinya," katanya.

Ia menilai masyarakat sekitar Gunung Merapi menunjukkan keteguhannya menghadapi persoalan terkait dengan bencana gunung berapi itu.

Anda dapat melihat bahwa ada nilai praktis dalam mempelajari lebih banyak tentang Harga Jual Blackberry iPhone Laptop Murah. Dapatkah Anda memikirkan cara-cara untuk menerapkan apa yang telah dibahas sejauh ini?

"Masyarakat teguh mengatasi persoalannya, saling membantu," kata Yoshimi yang juga pemerhati budaya Jawa itu.

Pemimpin Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor", Sitras Anjilin, mengatakan, fase letusan Merapi, sejak akhir Oktober hingga pertengahan November 2010 yang cukup dahsyat, memang sempat membuat masyarakat setempat takut.

Bahkan, katanya, para orang tua setempat yang pernah mengalami letusan Merapi cukup besar seperti pada 1952 juga menyebutkan bahwa erupsi 2010 sebagai peristiwa yang menggetarkan karena berskala besar.

Ia mengemukakan, masyarakat baik anak-anak, pemuda, dan orang tua telah membuktikan semangat persaudaraan dan tanggung jawab untuk saling menolong selama Merapi meletus 2010.

"Pengalaman masyarakat Merapi menghadapi bencana menambah mereka belajar atas situasi alam, dengan belajar bisa mengantisipasi kemungkinan ada bencana-bencana pada masa mendatang," katanya.

Bencana Merapi, katanya, juga menjadi pengalaman dan pelajaran hidup yang penting terutama untuk warga setempat.

Pada kesempatan itu, pianis berasal dari Jepang, Noriko Kose, selama dua babak menyuguhkan sejumlah lagu yang berjudul "Sinar Dari Doa", "Sakura", "Bulan", "Hutan", dan "Damai Di Bumi".

Seniman petani padepokan setempat yang berbasis wayang orang, Marmuja dan Eka Pradaning mementaskan performa "Tarian Ambang", Wenti dan Bambang Santoso performa tari dan musik gambang bertajuk "Wirogo Tunggal", Sutanto Mendut dan Taufik performa bunyi bertajuk "Suara Satwa Gunung".(*)

(U.M029/M008)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com