Jakarta (ANTARA News) - Sekitar pukul 7 malam waktu Thailand, pada 13 Mei 2010, Mayor Jenderal Khattiya Swasdipol atau akrab disapa Seh Daeng, ditembak di kepalanya saat diwawancarai wartawan asing. Insiden ini mengejutkan banyak kalangan, termasuk dunia internasional, karena detik-detik penembakan itu dan kata terakhir sang jenderal disiarkan ke seluruh dunia. Perwira pasukan khusus itu meninggal dunia keesokan harinya.

Seh Daeng berlaku sebagai pemimpin garis keras Front Demokrasi Bersatu Anti Diktator (UDD), kendati dia tidak pernah resmi masuk kepemimpinan gerakan yang lazim disebut kelompok "Kaus Merah" itu.

Dia diduga menjadi aktor di belakang sejumlah aksi kekerasan seperti serangan terhadap Kementerian Pertahahan, Markas Besar Angkatan Darat, markas Resimen Infantri ke-11 di mana PM Abhisit Vejjjiva tinggal, dan para pembunuh berbaju hitam yang membuat sejumlah orang mati selama kerusuhan 10 April.

Peran utama Seh Daeng dalam UDD adalah melatih massa Kaus Merah. Baru-baru ini dia berbicara kepada media mengenai dipilihnya tokoh garis keras dari generasi kedua pemimpin UDD, Arisman Pongruangrong, sebagai pemimpin Kaus Merah.

Dia juga dikenal karena sikapnya yang agresif dan membangkang perintah polisi serta militer.

Seh Daeng berperan besar di UDD menyusul demonstrasi besar yang berlangsung sejak 15 Maret 2010. Dia juga yang memperpanas situasi dan ingin menjerumuskan UDD dan perpolitikan Thai ke jurang kekerasan.

Dia kukuh melanjutkan demonstrasi ketika sejumlah pemimpin UDD condong menerima tawaran rekonsiliasi PM Abhisit Vejjajiva, bahkan kabarnya bersilang pendapat dengan pemimpin UDD yang lebih kompromistis, Veera Musikhapong.

Seh Daeng disebut telah berikrar jalan terus, sampai ada seruan akhir dari Thaksin Shinawatra. Dia juga berjanji akan menempuh semua cara kekerasan untuk itu.

Semakin banyak informasi otentik tentang beita baru Anda tahu, semakin besar kemungkinan orang untuk mempertimbangkan Anda a beita baru ahli. Baca terus untuk bahkan lebih beita baru fakta bahwa Anda dapat berbagi.

Dia memfitnah pemerintah dan pimpinan militer dengan berkata, "Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva, Deputi Perdana Menteri Suthep Thaugsuban dan Panglima Angkatan Darat Jenderal Anupong Paojinda harus ditangkap karena memerintahkan militer menembaki rakyat."

"Rakyat tidak menerima peta jalan (damai) karena tak satu pun dari lima poin yang ditawarkan menyingggung pembubaran DPR," lanjutnya. Seh Daeng juga percaya kekerasan akan berlanjut, meski ada pemilu baru.

Yang jelas, aksi Seh Daeng erat kaitanya dengan Thaksin Shinawatra.

Pesan Twitter Thaksin sendiri mengungkapkan dua wajah yang bertolak belakang darinya. Berulangkali Thaksin mengatakan ingin meninggalkan arena demi demokrasi, namun di sisi lain dia malah merestui Jatuporn Prompan yang merupakan satu-satunya pemimpin Kaus Merah yang menolak bernegosiasi dengan pemerintah.

Sikap keras Jatuporn ini tampaknya dipengaruhi kekuatan dari luar, yaitu Seh Daeng. Namun, peluru yang bersarang di kepala Seh Daeng mungkin berasal dari dalam kelompok anti pemerintah sendiri, dengan tujuan memperkeruh suasana.

Bagaimana tidak mencurigakan, penembakan Seh Daeng telah membuat krisis kian kisruh, padahal sejumlah pemimpin Kaus Merah, diantaranya seorang mantan perdana menteri, menyatakan bersedia berunding dan rekonsiliasi dengan pemerintah.

Jelas, peluru di kepala Seh Daeng adalah pemicu untuk membuat suasanan makin mendidih, karena segera setelah penembakan itu, faksi garis keras Kaus Merah melemparkan granat dan menembaki sejumlah tempat, sementara penembak jitu berkeliaran menembaki baik polisi maupun demonstran.

Kesimpulannya, peluru yang bersarang di kepala Seh Daeng diantaranya memesankan bahwa itu adalah pembunuhan ekstra judisial di mana pemimpin Kaus Merah lainnya mungkin menjadi sasaran berikutnya. Tujuannya, memicu suasana bertambah rusuh.

Banyak orang yang menjadi daftar tembak berikutnya, dan para pemimpin di belakang layar mungkin malah bersembunyi di luar negeri, sementara Shinawatra sendiri akan baik-baik saja dan tetap bahagia. (*)

Disadur dan diringkas Jafar Sidik, dari tulisan Ukrist Pathmanand, Direktur Institut Kajian Asia, Universitas Chulalongkorn, yang dimuat di Bangkok Post edisi 18 Mei 2010.