Tanaman asal Afrika ini masuk ke tanah air melalui kongsi dagang Belanda VOC, hampir 100 tahun lalu. Kebun-kebun kelapa sawit didirikan di Sumatra bagian utara, dan kawasan tersebut menjadi sentral perkebunan kelapa sawit Indonesia, hingga awal 1980an. Melihat potensi kelapa sawit yang besar, pemerintah meluncurkan berbagai program pengembangan industri kelapasawit seperti perkebunan besar swasta nasional dan program kemitraan termasuk pola Perkebunan Inti-Rakyat atau PIR-Trans.

Berkat program-program itu, didukung pertumbuhan permintaan global dan dorongan lainnya kepada industri ini, produksi minyak kelapa sawit Indonesia terus meningkat. Pada 2006, menggeser Malaysia dari tahta produsen minyak sawit terbesar dunia.

Indonesia kini memiliki 7,5 juta hektar perkebunan kelapa sawit (Deptan -2009), dengan 40 persen diantaranya milik rakyat (Ditjenbun, 2009).

Industri kelapa sawit nasional yang menempati 6 persen dari total hutan seluas 132 juta hektar, telah mensejahterakan jutaan rakyat Indonesia.

Adalah fakta, bahwa minyak sawit adalah satu-satunya komoditi non migas Indonesia yang menempati posisi strategis dalam percaturan minyak nabati dunia, mengingat Indonesia adalah penghasil terbesar komoditas ini.

Strategis, karena sejak 2005 minyak sawit telah menjadi minyak nabati dengan produksi terbesar (24%) menggeser minyak kedelai (23%) yang sebelumnya raja minyak nabati dunia.

Menurut data Oil World Annual 2009-2010, perbandingan tersebut 27,7% untuk minyak sawit dan 22,4% untuk minyak kedelai, dari total 168.8 Juta Ton minyak nabati. Padahal, luas kebun sawit seluruh dunia hanya 13,1 juta hektar, dibandingkan kedelai yang 97.3 juta hektar.

Artinya, dalam 1 hektar kebun kelapa sawit, dihasilkan rata-rata 3,6 ton minyak, sedangkan 1 hektar kebun kedelai hanya menghasilkan rata-rata 0,39 ton minyak.

Efisiensi lahan ini dimungkinkan karena kelapa sawit adalah tanaman tahunan yang berbuah sepanjang tahun, dibandingkan kedelai yang merupakan tanaman musiman.

Negara-negara penghasil minyak kedelai seperti AS (38%), Brazil (37%), dan Argentina (15%), mulai mewaspadai terjangan minyak sawit di pasar dunia.

Persaingan dengan minyak nabati lain tidak dapat dihindari dan saat ini muncul kampanye-kampanye negatif terhadap minyak sawit.

Sejumlah kalangan internasional dan lokal menggembar-gemborkan kampanye bahwa kelapa sawit sebagai perusak lingkungan, sementara sejumlah negara maju konsumen minyak sawit, memperketat regulasi tata produksi minyak sawit.

Aturan-aturan dibuat dan untuk dipatuhi seluruh produsen kelapa sawit, baik Indonesia maupun negara lainnya, agar produk minyak sawit diterima di pasar internasional. Diantaranya adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), satu lembaga dunia yang mengeluarkan panduan bagi semua lini produksi dan distribusi minyak sawit dunia.

Lembaga yang didirikan pada 2004 ini menuangkan panduan tata cara produksi minyak sawit yang dianggap berkelanjutan, dalam principle & criteria RSPO.

Lembaga yang berkantor pusat di Zurich, Swiss ini memiliki sekretariat di Kuala Lumpur dan kantor di Jakarta.

Sebagai bukti komitmen Indonesia turut memproduksi minyak sawit berkelanjutan, 72 industri kelapa sawit nasional dari hulu ke hilir, terdaftar sebagai anggota RSPO.

Jika Anda menemukan diri Anda bingung dengan apa yang Anda telah membaca hingga saat ini, jangan putus asa. Semuanya harus jelas pada saat Anda selesai.

Selain RSPO, industri sawit juga diberikan parameter produksi oleh negara-negara Eropa melalui EU Directives.

Tidak berhenti di regulasi internasional, industri kelapa sawit tanah air mengetengahkan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) untuk memproduksi minyak sawit berkelanjutan.

ISPO adalah kumpulan "best practices" yang sudah dilakukan industri kelapa sawit nasional, sementara perumusannya digagas oleh Departemen Pertanian RI.

ISPO merangkul segenap elemen industri kelapa sawit dari hulu ke hilir, untuk turut merumuskan standar produksi berdasarkan ketentuan perundangan RI.

Kalangan pelaku industri sendiri menyambut baik ISPO yang ketentuan-ketentuannya memang sejalan dengan prinsip-prinsip dan tujuan RSPO.

Masa depan industri kelapa sawit Indonesia bisa cerah, karena selain didukung permintaan global akan minyak nabati terus meningkati, juga karena produksi minyak sawit nasional bisa ditingkatkan dengan dukungan pemerintah.

Pengembangan teknologi kelapa sawit terutama benih unggul, dan juga praktik produksi sustainable semakin jamak diterapkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit nasional.

Masa depan cerah juga didukung oleh banyaknya kesempatan untuk pembenahan dan peningkatan kualitas dalam operasi dan industri kelapa sawit nasional.

Pembenahan di sini juga meliputi ˜aturan main yang harus didukung dan dipatuhi pemerintah, perusahaan, dan petani kelapa sawit.

Poin terpenting adalah identifikasi lahan potensial yang cocok untuk pengembangan. Di sini, aspek kepastian hukum perlu diperhatikan betul oleh pemerintah guna memberikan kepastian berusaha bagi perusahaan kelapa sawit.

Rencana tata ruang juga dipertegas dan diperjelas untuk minimalisasi konflik lahan, baik terkait dengan kepemilikan tanah, maupun usaha mempertahankan kawasan dengan nilai konservasi tinggi (HCVF), sehingga sejalan dengan prinsip usaha berkelanjutan sesuai RSPO dan ISPO.

Luas tanaman perkebunan kelapa sawit dengan usia tua (mendekati 25 tahun) di Indonesia saat ini semakin membesar. Untuk itu, peremajaan tanaman perlu dilakukan.

Komunitas kelapa sawit harus mampu dan siap untuk peremajaan tersebut, terutama petani plasma, yang dalam 3-4 tahun tidak akan memperoleh penghasilan dari kelapa sawit.

Upaya-upaya persiapan tersebut dimulai dari pengembangan penghasilan alternatif, hingga kemudahan dalam mengurus kredit perkebunan untuk penumbangan dan penanaman kembali lahan-lahan kelapa sawit.

Masa depan industri kelapa sawit Indonesia amat dipengaruhi kepastian hukum dalam berusaha dan keberhasilan peremajaan tanaman.

Apalagi potensi minyak sawit semakin melebihi potensi utamanya sebagai minyak nabati paling efisien, yaitu sebagai pengganti bahan bakar fosil.

Manfaat minyak sawit sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan, akan menempatkan minyak sawit menjadi komoditi sangat strategis di kemudian hari.

Dan ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk mempertegas posisinya dalam perekonomian global. (*)

(**) Ketua Bidang Advokasi dan Tenaga Kerja, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.