Jakarta (ANTARA News) - "Bekerja bersama, tinggal bersama,' adalah moto kabinet keempat Perdana Menteri Jan Peter Balkenende di awal pemerintahannya pada 22 Februari 2007. Motto itu tak berumur panjang. Sabtu pagi hal tak terhindarkan terjadi sudah; kabinet yang terdiri dari Demokrat Kristen, Buruh dan partai Kristen Ortodoks ChristenUnie, tumbang. Bahkan kejatuhan itu tidak mulus.

Misi militer Belanda di provinsi Uruzgan, Afghanistan, adalah sandungan terakhir dari kabinet Balkende, namun penyebab keruntuhan koalisi bukan hanya itu, masih banyak isu lain.

Laporan Komisi Davids, yang memukul strategi Belanda dalam Perang Irak adalah salah satu diantaranya.

Ketidaksetujuan atas pembelian jet tempur canggih JSF (Joint Strike Fighter), adalah penyebab lainnya. Kebijakan ini dinilai bakal menghisap anggaran yang sekarang ini justru dipersiapkan untuk mendorong tumbuhnya lagi perekonomian Belanda.

Kabinet tidak menciptakan perubahan apa-apa karena unsur-unsurnya enggan bekerja, persatuan menjadi tidak memiliki pijakan dan dua pemimpin paling penting koalisi - Balkenende dan pemimpin Partai Buruh Wouter Bos - tak mampu membangkitkan diri mereka sendiri.

Adalah memalukan bagi sang perdana menteri karena dialah yang kini memimpin empat kabinet terdiri dari enam partai termasuk partainya sendiri menuju ke kejatuhannya. Ada alasan bagus untuk meragukan kualitas Balkenende sebagai pemimpin.

Balkenende dan Bos saling bersaing di Pemilu 2006, dan mereka sama sekali tak pernah berhenti bersaing. Penyelesaiannya adalah jika salah satu dari mereka kalah.

Bagaimana Anda bisa meletakkan batas belajar lebih banyak? Bagian berikutnya mungkin berisi bahwa salah satu sedikit hikmat yang mengubah segalanya.

Kabinet ini memulai dengan awal yang sulit, baik dalam soal kesepakatan koalisasi pada Februari 2007 maupun program kebijakannya Juni kemudian, sehingga menganulir keputusan-keputusan besar.

Kesan yang membuktikan mereka memang sulit bekerja, terlihat di tahun-tahun setelah itu.

Jika dilihat ke belakang, pemerintahan ini hanya menciptakan sedikit prestasi. Sebagai pembelaan dari ini, kabinet merasa menjadi korban krisis keuangan dunia lowongan kerja terbaru yang semestinya tak bisa dijadikan alasan.

Respons kabinet pertamakali terhadap krisis global ini patut dipuji. Kabinet mengambil langkah tidak populer namun penting dilakukan, dengan mencoba menaikkan umur syarat pensiun pegawai, kendati hasil dari keputusan ini cacat di beberapa bagian.

Kebijakan itu kini menjadi diragukan bisa berlanjut. Kabinet masih terlampau jauh untuk bersepakat dalam soal itu.

Hal sama berlaku pula untuk isu-isu lain yang masih di meja (membutuhkan pengesahan DPR), semisal reformasi sistem pelayanan kesehatan, dan rencana pemensiunan pegawai untuk menyelamatkan 35 miliar euro keuangan negara yang tak pernah dilakukan sebelum ini.

Kebijakan-kebijakan penting pun kini bakal tertunda, padahal perekonomian miskin dukungan kebijakan yang propemulihan. Inilah harga tinggi sebuah krisis politik. (*)

Diterjemahkan jafar sidik dari editoral koran Belanda, NRC Handelsblad, edisi 20 Februari 2010